Monday, April 20, 2009

Ketika Hari Kartini 21 April Tiba?


Lusa nanti tepat tanggal 21 April. Hari yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia. Saat itu, kita akan memperingati Hari Kartini. Kartini yang dimaksud adalah tokoh perempuan Indonesia yang selalu diidentikkan dengan Tokoh Emansipasi Wanita.
Benarkah demikian?.

Entah siapa yang memeloporinya, seolah-olah Kartini identik dengan martabat wanita, kesetaraan gender, emansipasi wanita dan sebutan-sebutan lainnya.
Sesungguhnya yang demikian itu terjadi setelah terbit sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang yang ditulis oleh Armijn Pane (Balai Pustaka) ref
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0304/19/pustaka/263526.htm.
Buku tersebut berisi sebagian surat-surat yang ditulis oleh Kartini kepada teman wanitanya yang berkebangsaan Belanda. Benarkah demikian?. Wa Allahu Alam Bishowab.

Beranjak dari hal tersebut. Kita sering melihat pada saat kita merayakan Hari Kartini, kita seakan-akan berlomba-lomba menampilkan profil wanita karir, wanita pengusung emansipasi dan profil wanita-wanita “modern” lainnya.
Sebut saja wanita yang menjadi pilot, wanita pimpinan TNI - POLRI, wanita peneliti, wanita jaksa dsbnya.
Layakkah mereka disebut penerus cita-cita Kartini?
Biarlah dunia yang menilainya.

Lalu bagaimana penilaian saya?
Bagi saya ibunda Rokayah lebih dari seorang Kartini.
Beliau segala-galanya bagi kami.

Ibunda terlahir dengan nama Rokayah di sebuah daerah bernama Kandanghaur Indramayu, tepatnya di daerah Parean Bulak, 35 KM sebelah barat Kota Indramayu.
Ibunda terlahir di tahun 1946 dari pasangan Bapak Rasjan dan Ibu Tasmi. Bapak Rasjan dan Ibu Tasmi adalah keluarga kaya untuk ukuran Parean Bulak, sawahnya berhektar-hektar. Seluruh anaknya menikah dengan pilihan mereka. Ironisnya anak-anakanya tersebut dijodohkan dan menikah dengan para buruh pekerja sawahnya. Saat itu Bapak Rasjan berpendirian bahwa lelaki yang kuat dan tekun bekerja di sawah akan menjadi suami yang baik buat anak-anaknya.
Jadi ukuran baik dan buruk seorang calon menantunya adalah dari ketekunan dan kekuatan bekerja mengelola sawah yang berhektar-hektar.

Seluruh anak perempuan mengikuti apa saja yang digariskan oleh Bapak Rasjan. Tidak demikian dengan Ibunda Rokayah. Selepas SR (Sekolah Rakyat) atau setara dengan SD pada saat ini, ibunda berharap dapat meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Jelas hal ini bertentangan dengan kemauan orang tua. Ibunda harus menikah dengan buruh sawahnya.
Ibunda akhirnya “kabur” menuju Indramayu. Ibunda mencari pondok pesantren untuk belajar agama. Dia mendapatkannya di Daerah Singaraja. Bapak Rasjanpun marah, beliau menjemput ibunda dan memerintahkannya untuk pulang dan menikah dengan lelaki pilihannya. Ibunda keukeh, dia mau meneruskan sekolah dulu, dia mau belajar agama lebih banyak lagi. Bapak Rasjan pun akhirnya mengalah, maklum sebenarnya Ibunda Rokayah adalah anak kesayangannya. Ibundapun akhirnya dapat menyelesaikan sekolah agama setaraf SMP.
Alhamdulillah justru di sanalah akhirnya Ibunda mengenal seorang lelaki bernama Agus Sirad. Lelaki yang akhirnya menjadi tambatan hatinya.

Apakah cerita kaburnya Ibunda dari rumahnya dan pembangkangan terhadap perintah orang tuanya yang menjadi dasar saya untuk menyebut Ibunda Rokayah sebagai seorang pahlawan wanita? Apakah keteguhan Ibunda Rokayah untuk menuntut ilmu agama terlebih dahulu sebelum memutuskan menikah dengan seorang lelaki, yang menjadi alasannya?
Bukan!, bukan itu yang menjadi alasan utama.

Dalam artikel sebelumnya, saya telah menuliskan bahwa Ibunda Rokayah dan Ayahanda Agus Sirad telah dikaruniai sebelas anak. Keempat anaknya yang masih balita, seluruhnya meninggal dunia tanpa sebab. Tepat dua tahun dari kematian pertama anaknya, ayahanda Agus Siradpun menyusul. Kami tidak memungkiri, salah satu penyebab kematian ayahanda adalah karena kondisi kejiwaan dan psikologi akibat kematian ke-empat anaknya yang masih balita secara beruntun.
Kematian beruntun 5 orang yang sangat dicintai dalam masa dua tahun berarti pula Ibunda Rokayah ditinggal oleh orang-orang yang disayanginya rata-rata setiap 5 bulan sekali. Allahu Akbar.
Saya masih ingat betul deretan kematian adik-adik saya bahkan ada yang berjarak kurang dari 2 bulan.
Kalo bukan wanita pilihan Allah, mana mungkin ibunda akan sekuat itu.

Ibunda terlahir dari keluarga berkecukupan bahkan bisa dibilang orang kaya di Daerah Parean Bulak. Ketika berumah tanggapun keluarga kami terbilang berkecukupan. Ayah meskipun seorang pegawai Pemda Indramayu, tetapi di sela-sela kesibukannya dia masih bisa mengelola CV. Indra Karya, perusahaan kontraktor bangunan yang cukup disegani di daerah Indramyu saat itu. Ayah juga mengelola usaha pasir, dia memiliki pangkalan pasir di daerah Terisi. Di Jakarta ayah memiliki usaha Becak, usaha transportasi yang bisa dibanggakan pada saat itu. Ayah juga memiliki angkutan kota dengan trayek Patrol – Indramayu. Di belakang rumah, ayah memiliki peternakan bebek alabio. Tidak itu saja, gudang di belakang rumahpun diubah oleh ayah untuk menjadi tempat pembibitan jamur merang. Hampir seluruh usaha ayah dikelola oleh saudara-saudaranya. Orang-oarang yang ternyata tidak amanah. Orang yang hanya memahami ilmu sebatas pengetahuan bukan untuk diamalkan. Kelak ketika ayah meninggal, kami sekeluarga tidak mengetahui lagi kemana seluruh asset usaha ayah tersebut. Kemana dan dimana paman-paman, uwa-uwa kami tersebut mengelola usaha ayah? Hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui.

Ketika ayah meninggal dunia, satu-satunya warisan yang tersisa adalah sebidang tanah berukuran 3 x 3 meter. Tanah yang kemudian dibuat menjadi tempat tinggal kami. Kehidupan ibunda berubah seratus delapan puluh derajat. Dari seorang Ibu rumah tangga berkecukupan menjadi seorang wanita pembantu rumah tangga, seorang pedangang kue, seorang penjaga toko di bilangan Senen Jakarta Pusat, seorang pengantar garam dari Eretan Indramayu ke Pasar Kramat Jati Jakarta, seorang pedagang kerupuk udang dan terasi Indramayu. Semua dilakukannya untuk menghidupi kami semua. Saat ayah meninggal dunia. tahun 1979, Yu Yati – kakak tertua baru duduk di kelas 3 SMEA. Yu Ros, kakak kedua duduk di kelas 1 SMA. Di bawahnya lagi Yu Ipah, kelas 2 SMP, Yu Sri, kelas 5 SD, saya kelas 4 SD. Kedua adik saya masing-masing Alfiyah kelas 2 SD dan Gus Abdullah kelas 1 SD. Saat itu ibunda bertekad seluruh anak-anakanya harus selesai sekolah. Tidak boleh ada satupun dari anak-anaknya yang putus sekolah.

Saat ini, ketika Hari Kartini tahun 2009 diperingati, kami anak-anaknya dengan berbangga hati menceritakan kepada seluruh dunia, kepada seluruh wanita di belahan bumi manapun. Kepada seluruh ibu siapapun bahwa berkat bimbingan yang baik dari seorang wanita yang penuh tawakal dan sabar saat ini telah lahir seorang cucu yang telah hafal 25 (Dua Puluh Lima) Juz Alquran – santri teladan di Pondok Pesantren AlMultazam Kuningan. Seorang cucu yang hafal 5 (empat) juz Alquran – calon lulusan terbaik pula dari Pondok Pesantren Al Multazam Kuningan - calon pengusaha muslim terbaik. Seorang cucu yang hafal 2 (dua) juz Alquran – calon perekayasa technologi dunia. Seorang cucu bergelar Sarjana Fisika. Seorang cucu calon pakar IT lulusan CCIT FT UI.

Tidak sia-sia apa yang telah dilakukan oleh Ibunda Rokayah. Mari bandingkan apple to apllenya. Bila pendidikan yang menjadi indikator maka pada saat ayah meninggal dunia tahun 1979. Satu anak di kelas 3 SMEA, satu di kelas 1 SMA, satu di kelas 2 SMP, satu di kelas 5 SD, satu di kelas 4 SD, satu di kelas 2 SD dan satu di kelas 1 SD. Saat ini pada tahun 2009 mereka telah menjadi: satu orang lulusan bergelar Sarjana Fisika dan Master Sains, 4 orang bergelar S1, 2 orang berpendidikan SLTA.

Seandainya status yang menjadi indikator maka atas bimbingan dari seorang Ibunda Rokayah telah lahir 3 orang berstatus manager seorang diantaranya adalah dosen di Universitas Indonesia, seorang guru SMP teladan, seorang guru SD. Alhamdulillah, seluruh dari mereka memiliki predikat pekerja yang terbaik di lingkungannya.

Kalo interpersonal yang menjadi ukuran, Ibunda adalah sosok yang sangat disegani di lngkungannya. Sosok seorang Ibu Haji yang selalu mengedepankan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan diri sendiri. Sosok yang tidak pernah meminta kepada orang lain untuk dikasihani. Itulah alasannya mengapa ibadah haji yang dia lakukan beberapa tahun yang lalu, dia lakukan dengan cara menabung tanpa pernah memberitahukannya kepada orang lain bahkan kepada kami, anak-anaknya. Ibunda memberikan kabar niat hajinya kepada kami setelah persyaratan keuangan dapat dia penuhi. Allhu Akbar, betapa berdosanya kami, anak-anaknya yang tidak mengetahui sedikitpun tentang hal ini.

Jadi apa yang menjadi indikator untuk dikatakan sebagai wanita penerus Kartini?, saya serahkan sepenuhnya kepada anda semua.
Semoga hikmah yang baik senantiasa menyertai kisah kehidupan kita semua.
Amin

Monday, April 13, 2009

Ya, Allah tambahkan nikmat kesabaran kepada kami.


Kamis 2 April 2009 pagi menjelang berangkat ke kantor. HP pun berbunyi nyaring.
“Dos, telepon balik kesini ya, pulsa ku sudah mau habis!”,
Sahut di seberang sana. Saya mengenali suara itu, Yu Sri kakak saya.
Sayapun menelepon balik ke Yu Sri.
“Assalamu alaikum”, saya buka pembicaraan.
“Wa alaikum salam, Dos, ini mimi mau ngomong, kata Yu Sri.
HP yang saya pegang sedikit bergetar, tidak biasanya pagi-pagi begini mimi mau menelepon saya.
“Dos, mimi lagi sakit, sekarang mimi lagi dirawat di Rumah Sakit”, mimi memulai pembicaraan.
Suaranya parau, bergemetar, sambil diiringi isak tangis. Tak kuasa saya mendengar suara mimi.
“Mimi sakit apa?”, saya mencoba untuk menguatkan diri agar mimi tidak semakin sedih.
“Tidak tahu, mimi banyak bebanyuan”, sahut mimi.
Ya, saya membayangkan bebanyuan berarti mimi banyak mengeluarkan air ataupun baung-buang air.
“Oh gitu ya mi, ya udah insya Allah saya secepatnya ke Indramayu, jawab saya.
Begitulah mimi semenjak usianya menginjak 60 tahunan, bila sedikit merasa sakit, selalu saja mimi mencoba menghubungi saya, insya Allah, saya selalu ikhlas untuk datang menjenguk mimi, apapun kondisi saya.

Pagi itu saya berusaha menyelesaikan tugas saya di kantor. Saya membagi tugas staff saya dan memastikan staff saya dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Sejurus kemudian saya meminta ijin Dirut untuk menjenguk mimi.
Tepat pukul 10 sayapun meluncur dari area Mampang. Alhamdulillah, daerah yang biasanya super macet, pada hari itu ternyata sangat lancar. Selepas perempatan Tendean, Soluna Toscapun saya arahkan ke pintu toll, Alhamdulillah di jalur inipun tidak ada kemacetan. Saya jaga speedometer pada angka 110, saya mencoba untuk tidak terlalu memikirkan kondisi mimi saat itu agar saya dapat focus pada perjalanan saya. Sesekali saya lihat speedometer menunjukan angka 120, pada saat itulah kaki kanan saya kendurkan dari pedal gas agar speedometer tetap di kisaran 100 dan 110.

Senandung Asmaul Husna Ari Gynandjarpun sepanjang perjalanan terdengar dari Pioneer Tosca. Alhamdulillah tepat jam 13.00 saya sudah nyampe di Rumah Sakit Umum Indramayu.

Di Ruangan VIP A saya mendapati mimi terbaring. Yu Ros, Mas Aman, Yu Sri, Yu Ipah dan Piyah sudah ada di dalam ruangan.
“Assalamu alaikum”, saya membuka pintu.
“Wa alaikum salam, yang di dalam ruangan pada nyaut menjawab”.
“Nah itu Om Idos datang”, suara mimi dengan parau,seolah ingin mendahului yang lain.
“Jam berapa dari Jakarta, Dos”, Tanya Mas Aman.
“Tadi jam sepuluh, Alhamdulillah tidak macet”.
“Mimi gimana kabarnya?”.
“Masih lemah, gulanya sudah mulai turun, tadi pagi sudah 390, tapi tensinya masih tinggi 180”, jawab Yu Ros.

Mimi memang terlihat lemah, kerutan kulit di wajah tampak terlihat jelas, tapi di sudut-sudut kerutan itu pula saya melihat ketegaran seorang ibu yang sabar dan ibu yang tawakal.
Yah, mimi memang punya gula, sdikit saja makannya tidak terkontrol maka gulapun naik. Mimi bercerita beberapa hari sebelumnya mimi takziah ke tetangga yang meninggal. Beberapa hari, mimi ikut membantu di rumah orang tersebut. Saat itulah makanannya tidak terkontrol, mungkin juga mimi kelelahan.
Ya Allah saya bersyukur kepadaMu meskipun usia mimi mulai lanjut, namun semangat mimi untuk berbagi dengan sesama tidaklah luntur. Semoga bagian tubuhnya yang dirasakannya sakit saat ini, dapat menjadi saksi kepadaMu bahwa sakitnya bagian tubuh tersebut adalah karena amal baik ibu kepada sesamanya.

Dua malam saya menyempatkan diri untuk tidur di rumah sakit untuk mendampingi mimi.
Ya Allah, saya menyadari sepenuhnya bahwa dua malam begadang di rumah sakit tidak sebanding dengan apa yang mimi lakukan terhadap diri saya dahulu.
Untuk itu mohonkan ampun diri ini, bila masih belum sepenuhnya membalas budi baik mimi.

Hari ke-empat akhirnya dokterpun mengijinkan mimi untuk pulang. Alhamdulillah hari itu juga saya sudah bisa pulang kembali ke Depok. Semoga apa yang telah terjadi dapat menjadi pembelajaran buat kami sekeluarga.
Amin.

Pembelajaran dari Mang Casmadi Pedagang Bubur Ayam di Bojongsari Indramayu


Jumat malam 3 April 2009, Mas Aman mengajak saya untuk makan bubur ayam Mang Casmadi. Selepas magrib kami berangkat menuju lokasi dagangan Mang Casmadi yaitu di area sekitar taman wisata Bojong Sari Indramayu. Menurut Mas Aman, kita harus buru-buru kesana karena biasanya selepas jam 8 malam bubur ayam biasanya sudah habis.

Area wisata air Bojong Sari sebenarnya adalah bekas aliran Sungai Cimanuk yang melintasi dalam kota Indramayu. Setelah dibuatnya waduk di sekitar Bangkir, aliran air Sungai Cimanuk Di dalam Kota Indramayu menjadi mati. Air Sungai Cimanuk tidak lagi mengalir di dalam Kota Indramayu. Apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah Indramayu beberapa puluh tahun yang lalu ini, sekarang ditiru oleh pemerintah DKI Jakarta melalui proyek Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. Sayang proyek ini sampai dengan saat ini belum berjalan mulus.

Di area jalan tembus Bojongsari dan Desa Dukuh inilah Mang Casmadi sekeluarga mangkal. Dongdangan bubur ayam dan soto ayam Mang Casmadi sebenarnya tidaklah besar. Tetapi dari para pelanggan yang datang, saya bisa memperkirakan bahwa pelanggan Mang Casmadi sangatlah bervariasi. Ketika saya memarkirkan Soluna Tosca, di area pinggir jalan sudah bertengger 3 buah kendaraan berplat nomor Jakarta. Sayapun sempet menghitung jumlah motor yang parkir di pinggir jalan. Pas berjumlah 17 buah. Luar biasa….. berarti pelanggan Mang Casmadi sangatlah banyak.

Semangkok Bubur ayam lengkap dengan krupuk udang khas Indramayu bisa dinikmati hanya dengan Tiga Ribu perak. Wuih murahnya, tidak sebanding dengan rasa dan aromanya. Asin dan manisnya bubur, pas dengan selera kita.

Saat menikmati bubur ayam itulah Yu Ros bercerita. “Temannya Mas Aman pernah nanya ke Mang Casmadi”.
“Mang, resepnya apa?,koq bubur ayamnya bisa enak seperti ini, saya ngeliat pelanggannyapun tidak pernah sepi”.
“Saya engga punya resep apa-apa, pak”.
“Iya, tapi kenapa dagangannya bisa laris seperti ini?”
“Mungkin itu karena kami sering shalat tahajud pak”, jawab Mang Casmadi.

Saya cukup kaget mendapatkan cerita dari Yu Ros. Ya Allah Engkau Maha Benar. Engkau Maha Pengasih. Engkau Mendekati hambuMu yang selalu mendekati Mu.
Ya Allah jadikan cerita hidup Mang Casmadi menjadi pembelajaran buat kami sekeluarga. Amin.

Popular Posts