Tuesday, March 10, 2009

Sabar Terhadap Ujian.


Ibu pernah bercerita kepada saya bahwa saya terlahir dengan nama Toto Sugiharto. Mengapa ayah memberikan saya, nama Sugiharto? Menurut penuturan ibu. Saat saya lahir, bisa dikatakan sebagai masa puncak ayah dalam mengelola usaha. Ayah disamping sebagai pegawai PEMDA Indramayu juga memiliki usaha CV Indra Karya. Perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor bangunan. Banyak gedung dan bangunan yang telah ditangani oleh perusahaan ini.
Ayah juga memiliki usaha transportasi berupa angkutan kota dan becak. Trayek angkutan kota yang dilayaninya adalah Indramayu – Patrol. Sementara kegiatan usaha becak dilakukan di Jakarta dan dikelola oleh saudaranya. Pada saat itu, memiliki becak merupakan bisnis yang pantas untuk dibanggakan. Di belakang rumah, ayah juga memiliki banyak ayam maupun bebek yang bisa dijadikan penghasilan tambahan. Bukan itu saja, ayah juga memiliki usaha tambang pasir kali. Pangkalan galian pasir ini dikelola oleh saudaranya juga.
Kelak setelah ayah meninggal dunia, seluruh usaha ayah tersebut dikuasai oleh saudara-saudaranya yang menjadi kepercayaannya tersebut. Orang-orang yang tidak amanah. Orang-orang yang justru meninggalkan kami pada saat ayah sudah tidak ada. Perbuatan mereka dikelompokan oleh Allah SWT sebagai perbuatan dosa besar. Lihat QS 4: 2.

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.

Konon pada saat saya berusia balita, menurut penuturan ibunda tercinta, kami sekeluarga kedatangan seorang tamu berperawakan tinggi besar. Dengan wajah mirip orang Arab, beliau mengaku sebagai kawan dekat kakek saya, H Sirad. Menurutnya, beliau teman baik kakek ketika berada di Saudi Arabia. Kakek memang pernah tinggal untuk beberapa lama disana. Beliau datang untuk bersilaturahmi dengan kakek, namun sayang saat itu kakek sudah wafat.
Ketika melihat saya dan mengetahui nama saya, beliau menyarankan kepada ayah dan ibu untuk mengganti nama saya dengan Achmad Firdaus. Saran itupun diterima oleh ayah dan ibu. Sejak saat itulah saya berganti nama menjadi Achmad Firdaus.
Saya anak ke – 5 dari 11 bersaudara. Dari sebelas saudara itu, saya dan adik saya yang kedua adalah laki-laki sementara yang lainnya perempuan. Ayah meninggal dunia pada saat saya masih duduk di kelas 4 SD. Itulah sebabnya, ketika saya masih duduk di bangku SMA saya sudah berperan sebagai wali nikah kakak saya. Subhanallah, Allah telah memberikan amanah yang begitu besar kepada saya.
Ke-empat adik-adik saya meninggal dunia pada usia balita. Mereka menderita sakit dan beberapa diantaranya meninggal dunia tanpa sakit terlebih dahulu. Tepat 2 tahun setelah kematian adik pertama saya, ayah dipanggil oleh Allah SWT akibat komplikasi berbagai penyakit. Hal itu terjadi pada tahun 1979. Penyebab kematian ayah, paling tidak disebabkan juga oleh beruntunya kematian yang menimpa adik-adik saya. Cobaan beruntun tersebut mengakibatkan ayah terserang komplikasi berbagai penyakit. RSU Indramayu, RS Gunung Jati Cirebon, RSU Ciremai Cirebon dan RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, pernah menjadi tempat opname ayah. Di ujung kejenuhan dalam perawatan RS, ayah akhirnya mengajak ibu untuk berkunjung di salah satu pesantren milik kerabat ayah di Cirebon. Ayah bersilaturahmi dengan kerabatnya disana. Kami semua tidak menyangka disanalah akhirnya ayah meninggal dunia.
Dengan kematian 5 orang berturut-turut selama 2 tahun, berarti bila dihitung rata-ratanya maka dalam masa 5 bulan sekali kami ditinggal satu persatu anggota keluarga kami. Subhannallah, Allah telah memberikan cobaan kepada kami sekeluarga dan Allahpun memberikan kami kesabaran dan ketabahan dalam menerima cobaan tersebut.
Saat ayah meninggal dunia, Yu Yati – kakak tertua baru duduk di kelas 3 SMEA. Yu Ros, kakak kedua duduk di kelas 1 SMA. Di bawahnya lagi Yu Ipah, kelas 2 SMP, Yu Sri, kelas 5 SD, saya kelas 4 SD. Kedua adik saya masing-masing Alfiyah kelas 2 SD dan Gus Abdullah kelas 1 SD. Seluruh usaha ayah habis tak bersisa entah kemana. Bahkan ketika ayah meninggal dunia kami bertujuh saudara dan ibu hanya tinggal di sebuah kamar. Saya menyebutnya kamar karena rumah warisan ayah hanyalah tanah seluas 3 x 3 meter atau 9 meter persegi. Dan di atas tanah warisan itulah ibu berusaha membuatkan kami sebuah ”rumah”.
Bisa dibayangkan kamar seluas 9 meter persegi harus dihuni oleh 8 orang sekaligus. Jangankan untuk belajar, untuk tidurpun kami harus bergantian. Untuk mandi kami harus menebeng pada tetangga yang bernama Bapak Kuat. Keluarga Pak Kuat adalah pendatang dari daerah Majalengka. Mereka sudah cukup lama menetap di Indramayu.
Kebetulan sumur keluarga Pak Kuat terletak di belakang rumah. Sumur tersebut sebenarnya adalah tempat pencucian daging hewan sembelihan. Maklum keluarga Pak Kuat adalah penjual hewan sembelihan berupa sapi dan kerbau. Jadi untuk urusan mandi pagi, kami harus melakukannya menjelang subuh dan untuk mandi sore kami harus melakukannya selepas isya. Bisa dibayangkan terkadang sehabis mandi, badan kami bukannya bersih malah bau daging hewan sembelihan.
Untuk urusan buang hajat, kami memiliki seni manajemen tersendiri. Kami harus melakukannya di pesawahan yang terletak 1 km dari rumah. Kami harus mengatur waktu perjalanan antara rumah dan pesawahan yang bila ditempuh dengan jalan kaki memakan waktu 15 menit. Kalo kami lagi punya sedikit uang maka untuk urusan yang satu ini kami melakukannya di WC umum di pasar.
Rumah kami memang di tengah kota, di belakang Pasar Kota Indramayu. Namun meskipun berada di tengah kota, rumah kami tidak memiliki saluran listrik. Bagaimana berfikir menggunakan listrik, wong untuk keperluan makan saja harus bergiliran.
Saya teringat ketika menjelang usia peralihan, saya punya geng yang bernama Geng KomPas yang artinya Komplek Pasar. Kami punya team sepak bola bernama Kompas Club. Saya termasuk pimpinan di Team ini. Kami sering mengirimkan undangan tantangan bermain bola pada kelompok seusia di sekitar kami. Bila team mereka menolak bertanding maka kami marah dan kami akan menantang untuk berkelahi. Bila team mereka menerima bertanding maka kami punya prinsip, team kami harus jadi pemenang. Batas permainan bola bukan ditentukan oleh waktu permainan tetapi oleh skor pertandingan. Bila waktu magrib sudah tiba namun team kami masih dalam posisi kalah maka permainan tidak boleh dihentikan, jadi harus tetap berjalan. Bila mereka menolak maka kami akan mengajak berkelahi satu lawan satu. Salah satu kenang-kenangan akibat perilaku saya pada usia peralihan tersebut adalah tanggalnya gigi depan sebelah kiri yang hingga kini masih ompong.

No comments:

Popular Posts